Krisis Perubahan Iklim: Sebuah Perlombaan Berpacu dengan Waktu

Minute of Mind UPII UGM
5 min readJun 3, 2022

--

Author: Tiara Limoharjo

Pada tanggal 6 April 2022, Dr. Peter Kalmus bersama beberapa rekan ilmuwan melaksanakan aksi demonstrasi di depan gedung Bank JP Morgan Chase di Los Angeles. Mereka menggembok diri mereka ke pintu depan gedung bank sebagai bentuk protes terhadap tindakan Bank JP Morgan Chase yang menjadi sumber pendana terbesar proyek bahan bakar fosil. Tidak hanya di Los Angeles, aksi yang dibawahi oleh sebuah organisasi bernama Scientist Rebellion ini menggelar demonstrasi serentak di 25 negara yang melibatkan lebih dari seribu ilmuwan. Mereka semua menuntut hal yang sama, yaitu agar pemerintah mendengarkan ilmuwan saat mereka mengeluarkan fakta bahwa bumi kita sedang bergerak cepat menuju “catastrophe”.

Isu mengenai perubahan iklim bukanlah dongeng yang baru. Peringatan-peringatan tentang bahaya perubahan iklim yang ekstrem ini kerap digaungkan oleh ilmuwan seperti Dr. Kalmus. Tetapi, seperti yang ia katakan di dalam pidatonya, tidak ada yang mau mendengarkan mereka. Isu perubahan iklim seakan selalu kalah bertaruh dengan isu mengenai selebritas atau politik. Kita lebih tertarik membaca berita mengenai gosip pasangan muda Indonesia atau bagaimana seorang miliuner ingin mendirikan dunia baru yang berbentuk virtual daripada menyadari bahwa bumi kita, yang hanya ada satu, sedang berada di ambang perubahan iklim yang sangat ekstrem. Dan ia membutuhkan bantuan kita semua.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah laporan yang dikeluarkan para ilmuwan yang isinya meringkas semua yang sejauh ini kita ketahui tentang perubahan iklim bumi. Laporan ini melibatkan ilmuwan dari berbagai bidang ilmu seperti fisikawan, ahli atmosfer dan samudra, spesialis energi, ekonom, dan bidang lainnya. IPCC AR6 merupakan laporan terbaru IPCC yang terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama membahas sains di balik perubahan iklim, lalu dampak dan adaptasi dari peristiwa perubahan iklim, dan terakhir mengenai bagaimana menghentikan perubahan iklim yang ekstrem tersebut. Laporan IPCC menjadi sangat penting dikarenakan isinya yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang sedang terjadi mengancam keberlangsungan hidup manusia di bumi.

IPCC membeberkan satu fakta yang menarik pada laporan keenamnya ini. Mereka menuliskan bahwa suhu di bumi telah naik 1.1° Celcius. Peristiwa ini sebelumnya hanya terjadi sekali 125.000 tahun yang lalu saat bumi memasuki zaman es (Tollefson, 2021). Tidak ada hal baik yang terjadi jika suhu di bumi makin hangat. Hewan, tumbuhan, dan vertebrata yang tidak dapat beradaptasi akan punah dari bumi. Permukaan laut akan naik, sehingga menyebabkan tenggelamnya daratan-daratan. Lapisan es yang terdapat di artic akan meleleh dan mengganggu keseimbangan habitat yang bergantung kepada es di kutub (Buis, 2019).

Beberapa negara sudah merasakan dampak dari perubahan iklim ini. India dan Pakistan mengalami cuaca yang sangat panas pada Bulan Maret hingga saat ini. Cuaca di beberapa kota di Pakistan hingga mencapai suhu 50° Celcius, padahal Asia Selatan belum memasuki musim panas. Cuaca yang terlampau panas ini memakan korban 25 orang di India dan 65 orang di Pakistan. (Cappucci, 2022; Irfan, 2022). Indonesia juga tidak luput dari efek perubahan iklim yang ekstrem. BMKG melaporkan bahwa selama 11 tahun, puncak es di Puncak Jayawijaya — yang digadangkan sebagai salju abadi — telah berkurang sebesar 8 meter. Bila hal ini terus terjadi, maka tahun 2025 salju di puncak tertinggi Indonesia ini, akan hilang (Ferdian, 2022).

Credit: Prof. Ed Hawkins & National Centre for Atmospheric Science

Kemudian, the million dollar question yang ingin ditanyakan oleh semua orang adalah, “Lalu bagaimana kita menghentikan, atau setidaknya, mengurangi dampak dari perubahan iklim?” Ilmuwan iklim akan dengan percaya diri menjawab, “Hentikan pendanaan bahan bakar fosil.” Hal ini disebabkan karena fosil yang terbakar akan melepaskan karbon dioksida. Jika sampai ke atmosfer, karbon dioksida akan menangkap panas matahari yang kemudian menyebabkan suhu di bumi makin hangat.

Efek buruk yang diberikan bahan bakar fosil tidak hanya itu. Pembakaran fosil menyebabkan polusi udara yang dapat membahayakan organ pernapasan manusia. Di luar pernapasan, dilaporkan bahwa polusi udara menyebabkan keracunan, iritasi pada mata dan kulit, hingga kanker kulit. Dalam bidang agrikultur, udara yang berpolusi bercampur dengan asam lainnya dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman, baik karena terpapar langsung maupun melalui tanah yang sudah terkontaminasi (Barbir, et al., 1990).

Inilah tuntutan yang disuarakan oleh komunitas seperti Scientist Rebellion dan Extinction Rebellion kepada perusahaan dan pemerintah untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih parah terhadap lingkungan. Mereka menginginkan agar energi yang berasal dari pembakaran fosil diganti menjadi energi yang lebih ramah lingkungan, seperti solar, angin, atau baterai (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2022).

Profesor Myles Allen dari University of Oxford menyatakan bahwa hanya ada satu cara untuk perusahaan fosil menghentikan dampak buruk bahan bakar dari pembakaran, yaitu dengan melakukan dekarbonisasi (TED, 2020). Secara singkat, dekarbonisasi bahan bakar fosil akan mengurangi karbon yang ada di dalamnya sehingga mengurangi efek rumah kaca di atmosfer. Tentu saja, cara ini memakan biaya yang lebih besar daripada langsung membakar fosil. Poin ini yang ingin disampaikan oleh Profesor Allen, bahwa mereka yang mampu secara ekonomi dan memiliki resources untuk melakukan dekarbonisasi adalah para pelaku perusahaan bahan bakar fosil itu sendiri. Namun, apakah para pemilik modal dan pembuat kebijakan dapat dengan rela, memindahkan kepentingan kolektif dan mendahulukan kehidupan ekosistem yang ada di bumi (Pontoh, 2022).

Temuan-temuan mengenai perubahan iklim makin ke sini sayangnya terasa sangat suram dan mengecewakan. Dampak-dampak ini bukanlah hal yang baru, tetapi menjadi lebih besar seiring dengan perubahan iklim yang makin memburuk. Banjir yang sudah lama terjadi akan makin sering. Begitu pula dengan suhu udara yang akan menjadi makin panas. Laporan IPCC keenam ini disebut oleh António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB sebagai “A Code Red for Humanity”. IPCC juga menuliskan bahwa “Window of opportunity” untuk mengambil tindakan sedang menutup dengan cepat. Menyelamatkan bumi bukanlah hal yang mustahil, tetapi membutuhkan perubahan sistem besar-besaran.

Generasi muda yang masih memiliki masa depan yang panjang seakan ditinggalkan kepada mereka bumi yang rentan. Inilah sebabnya kita tidak perlu menunggu hingga 2050 untuk mewujudkan bumi yang net zero. Tidak perlu menunggu bumi menyentuh 1.5° Celcius agar sebuah kebijakan diambil. Pemikiran-pemikiran tersebut terasa malas dan seakan menyepelekan problematika yang akan terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim. Waktu untuk mengambil perubahan adalah sekarang atau tidak sama sekali. There’s no planet B!

Referensi

--

--

Minute of Mind UPII UGM

Artikel Karya Unit Penalaran Ilmiah (UPI) “Interdisipliner” Universitas Gadjah Mada. Rebranding "Waktu Cipta UPII UGM"