Demokratisasi Ilmu Pengetahuan: Membumikan Hakikat Penelitian yang Terlupakan

Minute of Mind UPII UGM
12 min readOct 7, 2024

--

Author: Ilham Perdana Lazuardhi

Sumber: Wikipedia https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Solvay

Most of these bright young scientists completed their doctoral degrees in scientifically advanced countries. Many of them could have easily stayed abroad. But they chose to remain in Indonesia, contributing their work for the country. Some of them have even succeeded in maintaining one foot in research institutes overseas. But the reality they face in Indonesia is a discouragement to their enthusiasm.” Preface on “SAINS45: Indonesian Science Agenda Towards A Century of Independence” — Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Suatu proses yang terikat dengan produksi ilmu adalah kegiatan penelitian. Sekarang, kita mengetahui bahwa bumi berbentuk bulat, Covid-19 dapat ditangani dengan vaksin, ataupun dampak Artificial Intelligence (AI) terhadap kehidupan sosial, semua itu tidak terlepas dari ilmu yang diperoleh melalui praktik-praktik penelitian. Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh suatu institusi penelitian yang independen; berupa universitas atau perguruan tinggi yang merupakan pusat produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan (Tanudirjo, 2017).

Di Indonesia sendiri, terdapat lembaga di luar perguruan tinggi yang menjadi institusi penelitian. Lembaga tersebut adalah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang telah berdiri sejak 2019 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SISNAS IPTEK), kemudian resmi berdiri lewat Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 (Wiratraman & Sakhiyya, 2023). BRIN didirikan melalui peleburan berbagai lembaga penelitian di Indonesia, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Peleburan berbagai lembaga penelitian ini menimbulkan tantangan sekaligus harapan akan masa depan dunia penelitian di Indonesia.

Pembahasan mengenai dunia penelitian di Indonesia ini akan melihat bagaimana persoalan mengenai institusi penelitian, yaitu perguruan tinggi dan BRIN beroperasi dalam praktik penelitiannya, sehingga memengaruhi perkembangan ilmu di Indonesia. Beberapa persoalan yang diangkat adalah: (1) birokratisasi institusi; (2) pengaruh klaim ideologis; (3) kapitalisasi institusi penelitian; (4) fragmentasi ilmu; (5) demoralisasi peneliti; dan (6) ketiadaan otoritas ilmu. Untuk memulai pembahasan ini, kita akan mengulas terlebih dahulu pertanyaan yang kerap kali diperdebatkan: apakah ilmu yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian bersifat objektif?

Birokratisasi Institusi

Pada produksi ilmu melalui kegiatan penelitian yang independen, nilai yang diemban oleh para peneliti adalah kebenaran ilmiah. Ketika astronom menemukan benda langit, dirinya akan mendefinisikan ciri fisik benda langit tersebut sebagaimana adanya. Demikian pula ketika sosiolog menemukan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kondisi sosial, data yang dikemukakan merupakan hasil observasi terhadap realitas yang diamatinya. Pada kedua contoh tersebut, hasil penelitian menampakkan objek yang sesuai dengan apa yang diamati; bersifat objektif selama sesuai dengan fakta, data, dan bukti. Tetapi, berbeda halnya apabila kegiatan penelitian telah ditetapkan agendanya sebelum dimulai, serta bagaimana hasil penelitian nantinya akan digunakan. Sehingga, penelitian bergantung kepada pihak yang memiliki wewenang untuk mengarahkan dan menggunakannya. Disinilah ilmu tidak terlepas dari suatu kepentingan: bersifat politis.

Kondisi iklim penelitian di BRIN dan perguruan tinggi akan menjadi contoh yang sesuai mengenai relasi ilmu dan politik. Lebih tepatnya, bagaimana ilmu dipolitisasi dalam iklim penelitian. Baik BRIN maupun perguruan tinggi — khususnya negeri — memiliki unsur birokratis yang terkait dengan pemerintah atau negara. Didirikannya BRIN berdasarkan Peraturan Presiden, serta ketetapan beberapa perguruan tinggi negeri yang memiliki otonomi tersendiri dalam bentuk Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH) menjadi wujud birokratisasi institutional pada institusi penelitian. Para peneliti di BRIN maupun perguruan tinggi terjerat struktur yang menundukkan mereka terhadap relasi kuasa yang hierarkis. Memaksakan BRIN menjadi lembaga yang mengurusi kebijakan sekaligus pelaksanaan riset memunculkan potensi tumpang tindih peran maupun kemungkinan penyelewengan kuasa (abuse of power) yang semakin besar (Nugroho, 2021). BRIN, lembaga super sains yang dijelaskan sebelumnya, mencerminkan berlanjutnya politisasi dan birokratisasi ekosistem penelitian di Indonesia yang menghambat kinerja peneliti (Rakhmani et al., 2024). Sama halnya di perguruan tinggi, bentuk PTN-BH menjadi wujud nyata kesenjangan antar perguruan tinggi dalam praktik penelitian. Meskipun otonomi telah meningkatkan kemampuan universitas-universitas negeri di Jawa untuk menghasilkan pendapatan dan mengurangi ketergantungan mereka terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), namun di lain pihak memperparah persoalan ketidaksetaraan antar-daerah yang telah ada sebelum reformasi akibat penyelenggaraan ekonomi dan administrasi negara yang sentralistik (Rakhmani & Siregar, 2016).

Kerja-kerja administratif yang menjadi syarat kelayakan untuk mendapat prestige, menunjukkan ekosistem yang tidak berimbang untuk menunjang produksi ilmu. Para peneliti aktif di universitas-universitas negeri di Jawa memiliki peluang lebih besar untuk membangun jaringan dengan pemerintah pusat, sektor swasta, donor internasional, dan universitas lain untuk melakukan penelitian (Rakhmani & Siregar, 2016). Birokratisasi institusi yang merombak ekosistem penelitian, apabila semata-mata dilihat dari kacamata politis, akan mencederai integritas peneliti yang menjaga jarak dari kepentingan politik.

Selubung Ideologi

Diangkatnya Megawati Soekarnoputri yang merangkap sebagai ketua umum partai politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sekaligus dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi dewan pengarah BRIN menimbulkan tanda tanya: apakah penelitian BRIN diarahkan untuk kepentingan politis ataupun ideologis tertentu? Sebab, bukanlah hal yang wajar bagi lembaga penelitian apabila memiliki dewan pengarah untuk mengarahkan praktik penelitian yang ilmiah menjadi ideologis. Apabila diarahkan untuk kepentingan politis dan ideologis dengan menjadikan ideologi, dalam hal ini adalah Pancasila, sebagai paradigma ilmu dalam kegiatan penelitian bertentangan dengan kaidah ilmu yang objektif.

Taufiqurrahman (2023) menyatakan bahwa ideologi negara — dalam hal ini adalah Pancasila — tidak bisa menjadi paradigma ilmu karena tiga alasan: (1) Pancasila berisi sejumlah nilai normatif yang ideal, bukan yang faktual; (2) Pancasila sulit bersifat universal terhadap semua bidang ilmu; dan (3) Pancasila bersifat final dan mutlak. Ilmu berurusan dengan hal-hal faktual dan bidang-bidang spesifik yang terbuka untuk disempurnakan. Pancasila sebagai ideologi negara, berhubungan dengan nilai-nilai ideal yang tidak bisa sepenuhnya memengaruhi fakta ilmiah. Universitas sebagai institusi penelitian pun selayaknya memiliki kebebasan untuk meneliti berbagai bidang ilmu tanpa kekangan politis dan ideologis. Menempatkan ideologi negara sebagai landasan nilai yang dipegang oleh peneliti sudah cukup tanpa harus mencampuri praktik penelitian yang mereka lakukan.

Kapitalisasi Praktik Penelitian

Kedua institusi penelitian, baik BRIN maupun perguruan tinggi tidak dapat menghindari kenyataan bahwa kebutuhan akan pendanaan penelitian menjadi aspek fundamental. Namun, apakah kebutuhan pendanaan ini telah diakomodasi oleh institusi penelitian? Ilmu pengetahuan terdepan saat ini membutuhkan peralatan yang canggih dan mahal yang sebagian besar tidak tersedia di Indonesia; hal ini juga memerlukan pendanaan tahunan yang fleksibel untuk mengakomodasi banyak kejutan yang muncul di tengah-tengah program penelitian yang ambisius (Marzuki, et. al, 2024).

Sementara itu, universitas kini dapat terlibat dalam penelitian dan pelatihan bisnis, dan diperbolehkan untuk menaikkan biaya perkuliahan dan penerimaan mahasiswa, yang berujung pada kenaikan pendapatan dari biaya perkuliahan (Rakhmani & Siregar, 2016). Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, otonomi perguruan tinggi membuat universitas masuk dalam iklim dunia industri yang kompetitif dan berorientasi pada profit. Hal ini mengalihkan orientasi kegiatan penelitian yang mengarah kepada keuntungan, sebagai basis untuk menunjang kekuasaan material, ideologis, maupun politis. Dalam menghasilkan sumber-sumber pendanaan baru, universitas-universitas negeri sering kali mengandalkan pendekatan jangka pendek dengan memaksakan kenaikan biaya perkuliahan atau menciptakan jalur-jalur masuk baru yang lebih mahal daripada jalur umum, sehingga membuka akses bagi mahasiswa rela membayar lebih di pasar pendidikan tinggi (Rakhmani & Siregar, 2016).

Institusi penelitian secara birokratis telah diarahkan untuk mengikuti arus kapitalisasi yang melanda sektor industri. Bukan hal yang asing, apabila institusi penelitian memiliki prioritas terhadap kebutuhan akan profit yang menunjang praktik penelitian. Sekalipun mendapat pendanaan dari negara, kerumitan lain yang menghambat praktik penelitian tetap saja muncul. Persyaratan birokratis terkait penggunaan dana penelitian Dikti (Pendidikan tinggi) merupakan penghalang utama karena periode penggunaannya yang singkat dan pencairannya memakan waktu (Rakhmani & Siregar, 2016).

Fragmentasi Ilmu

Sekalipun saat ini perkembangan ilmu terspesialisasi dalam berbagai bidang, keterkaitan antar bidang ilmu untuk memecahkan persoalan ilmiah mengalami hambatan dengan adanya pembentukan disiplin ilmu secara birokratis. Pemisahan antar bidang ilmu dalam bentuk 12 organisasi riset di BRIN dan pendirian fakultas di perguruan tinggi menimbulkan sekat yang jelas antar bidang ilmu. Pemisahan disiplin ilmu yang kaku dalam Perguruan Tinggi (PT) menyulitkan para akademisi untuk berinteraksi dengan sejawatnya dari bidang keahlian lain (Rakhmani & Siregar, 2016).

Distingsi biner antara alam-sosial dan teori-praktik misalnya, merupakan imbas dari sekat antar disiplin ilmu yang dibentuk secara birokratis. Program-program studi secara kaku dipisahkan satu sama lain mengikuti struktur birokratis, yang secara efektif melemahkan pemahaman antar-disiplin dan multidisiplin atas isu-isu sosial (Rakhmani & Siregar, 2016). Padahal, pendekatan penelitian yang mengelaborasi lintas disiplin ilmu diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah praktis, seperti krisis iklim, penggunaan AI, dan desentralisasi otonomi daerah. Di sisi lain, terdapat prioritas penelitian yang bersifat terapan dan berguna untuk kebutuhan praktis. Sebagai dampaknya, penelitian terapan terlalu ditekankan, tanpa dukungan memadai terhadap penelitian ilmiah dasar yang diperlukan untuk menghasilkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan baru yang mendukung penelitian tersebut (Marzuki, et. al, 2024).

Demoralisasi Peneliti

Tuntutan birokratis yang mengarahkan agenda penelitian para peneliti di institusi penelitian menjadi tantangan lain. Integritas dan mentalitas peneliti diuji dengan berbagai permasalahan di atas. Gaji rendah dengan beban kerja melimpah tanpa ekosistem riset yang memadai membuat sebagian dosen — ataupun peneliti — mencari jalan pintas, mulai dari menggunakan jasa joki hingga menerbitkan artikel di jurnal-jurnal predator (Taufiqurrahman, 2024).

Pembentukan badan super untuk pendanaan ilmu pengetahuan — BRIN — telah menimbulkan kebingungan, di mana beberapa peneliti menyatakan keprihatinan mengenai pemahaman dan rasa hormat pemerintah terhadap pekerjaan mereka dan perlunya akuntabilitas dalam pendanaan ilmu pengetahuan dan tata kelola (Marzuki, et. al, 2024). Keprofesian peneliti yang diupah kurang layak dengan tuntutan administratif yang memaksa mereka bekerja lembur, menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan hidup peneliti. Bahkan pengeluaran pendanaan Indonesia untuk Research and Development (R&D) relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara lainnya (Marzuki, et. al, 2024). Tak hanya kesejahteraan hidup peneliti saja yang kurang diperhatikan, minimnya pembiayaan yang mewadahi minat dan keprofesian peneliti membuat iklim penelitian di lembaga BRIN tersendat untuk berkembang.

Upah kurang layak dengan beban kerja berlebih mengakibatkan integritas akademik tidak lagi menjadi panduan etika bagi peneliti. Berbagai cara dilakukan untuk memenuhi tuntutan birokratis yang berbasis aspek kuantitatif. Maka sepatutnya kita menanyakan ulang mentalitas “publish or perish” sehingga komunitas ilmiah saat ini mengesampingkan integritas akademik untuk pertaruhan pengakuan, kecepatan, dan kuantitas penelitian ilmiah yang diterbitkan di jurnal ilmiah (Science Watchdog, 2024). Hal ini nampak, misalnya, pada praktik paper mills yang menawarkan jasa kepengarangan kepada peneliti, akademisi, dan mahasiswa yang ingin namanya muncul di jurnal ilmiah internasional bereputasi (Zein, 2024). Layanan paper mills yang berupa perusahaan komersial dengan penawaran jasa kepengarangan–khususnya karya ilmiah–menjadi jalan pintas untuk mempermudah, ataupun meningkatkan reputasi. Maraknya layanan paper mills, data palsu, penelitian palsu, dan kutipan palsu menunjukkan rendahnya integritas akademis para peneliti.

Ketiadaan Otoritas Ilmu

Cara iklim penelitian bekerja di Indonesia, menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penelitian dan ilmu pengetahuan. Bukti nyata mengenai relasi publik dengan ilmu, nampak misalnya pada penanganan awal pandemi Covid-19. Tanggapan awal yang buruk dari Indonesia terhadap pandemi (Covid-19) mencerminkan kurangnya kebijakan publik yang berbasis ilmu pengetahuan; penyangkalan sains, respon yang tidak terkoordinasi dan tidak sesuai, serta meluasnya misinformasi dan disinformasi (sebuah infodemik) menjadi ciri respons awal Indonesia terhadap Covid-19 (Rakhmani, et. al, 2024).

Universitas-universitas negeri di Indonesia masih sangat jauh dari menghasilkan penelitian yang terhubung dengan pembuatan kebijakan (Rakhmani & Siregar, 2016). Sementara itu, kebijakan politis justru seakan mengendalikan produksi ilmu, sementara produk ilmu yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian belum sepenuhnya mendiseminasi kebijakan. Yang muncul kemudian adalah kebijakan yang mengarahkan produksi ilmu (science based on policy), bukan kebijakan yang berbasis kepada ilmu (policy based on science). Sementara kebijakan diperlukan untuk menunjang kegiatan penelitian yang produktif, kebijakan juga memerlukan ilmu yang menjadi pertimbangan dan justifikasi atas implementasinya.

Terdapat kekhawatiran yang semakin besar atas menurunnya kebebasan akademik ilmiah akibat campur tangan pemerintah terhadap otonomi lembaga penelitian dan pendidikan tinggi di Indonesia (Marzuki, et. al, 2024). Segala persoalan dalam institusi penelitian dan iklim penelitian menyangkut campur tangan politik pada produksi ilmu: politisasi ilmu. Hal ini terjadi ketika keputusan tidak didasarkan pada landasan faktual bersama, atau ketika ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menggambarkan dan menilai situasi dipolitisasi (Reiss, 2021).

Demokratisasi Ilmu Pengetahuan: Mengembalikan Marwah Akademis

Definisi kebebasan akademik bermuara pada kebebasan penyelidikan, investigasi, penelitian, ekspresi dan publikasi (atau diseminasi) (Bero, 2019). Alternatif terhadap kondisi yang terjadi pada iklim dunia penelitian di Indonesia saat ini adalah mendemokratisasi ilmu pengetahuan.

Democratizing science…does mean…is creating institutions and practices that fully incorporate principles of accessibility, transparency, and accountability…It means insisting that in addition to being rigorous, science be popular, relevant, and participatory (Guston, 2004).

Konsep demokratisasi ilmu pengetahuan dapat ditempuh dengan membumikan kegiatan penelitian oleh institusi penelitian: (1) pemisahan antara ranah politis & ranah akademis; (2) mengedepankan kebebasan akademis; (3) mempublikasi karya ilmiah populer; dan (4) pengambilan keputusan kebijakan berbasis riset (policy based on science).

Membumikan Ilmu Pengetahuan

Pertama, politisasi pada institusi penelitian menunjukkan urgensi pemisahan ranah politis dan ranah akademis. Pemisahan ini meliputi: politisi-periset; pemberi dana-pengelola dana; politik-ilmu. Politisi perlu membatasi campur tangannya, entah melalui intervensi politis maupun pengekangan ideologis terhadap praktik penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Demikian pula, pengelola dana perlu dibedakan dengan seorang investor yang mendanai penelitian. Melalui kedua cara tersebut, produksi ilmu meminimalisir kepentingan politik dalam bentuk ideologi maupun ekonomis. Kunci membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan — dan bukan ekonomi berbasis jual-beli komoditas — dimulai dari memberi ruang bagi ilmuwan untuk berkarya, mendorong pengembangan dan komersialisasi hasil riset mereka, memastikan kebijakan yang berbasis data dan bukti, hingga membangun kapasitas negara lewat birokrasi dan institusi (Nugroho, 2021).

Kedua, setiap peneliti yang memproduksi ilmu memiliki hak untuk bersuara dan membudidayakan budaya ilmiah. Pada bangsa yang beragam seperti Indonesia (secara genetis, geografis, sosial, dan budaya), budaya ilmiah yang menumbuhkan kreativitas, rasional, keterbukaan, dan toleransi, yang melekat pada sains, sangatlah penting (Rakhmani, et. al, 2024). Kebebasan akademik berupa inovasi, kritik, dan keterbukaan menjadi aspek penting yang menunjang budaya ilmiah. Untuk itu, mempublikasikan hasil penelitian ataupun ilmu pengetahuan kepada publik menjadi keniscayaan.

Ketiga, publik perlu mengetahui dan menikmati akses terhadap ilmu yang kredibel. Institusi penelitian dapat menyalurkan ilmu melalui jurnalisme sains dengan pembahasaan populer. Ketika ilmu dapat diakses oleh khalayak umum, penyelidikan terhadap bukti-bukti ilmiah dapat dikembangkan melalui kontribusi publik, misalnya, dengan pelaporan investigatif terhadap fakta yang ada.

Keempat, kegiatan penelitian perlu dikembalikan kepada kaidahnya sebagai ilmu yang objektif, baik untuk perkembangan lintas disiplin ilmu maupun pembuatan kebijakan yang berbasis kepada ilmu. Dengan membudidayakan penelitian yang melibatkan lintas disiplin ilmu, produk penelitian yang dikembangkan melingkupi dimensi yang lebih luas, baik dalam melihat permasalahan faktual dan memberikan solusi konstruktif terhadap kehidupan–sebagai pertimbangan terhadap pengambilan keputusan pada ranah kebijakan. Ketika ilmu telah mencakupi kehidupan masyarakat, para peneliti dan kalangan akademisi lainnya perlu membangun kekuatan alternatif sebagai checks and balances terhadap kebijakan politik. Yang perlu dilakukan adalah mentransformasi komunitas ilmiah bersama kelompok sosial lainnya yang peduli pada keadilan dan kesejahteraan menjadi kekuatan politik yang mampu menundukkan aliansi predator antara politisi dan pengusaha (Mudhoffir, 2021).

Kesimpulan

Sejarah telah memperlihatkan betapa berbahayanya praktik penelitian apabila disetir untuk kepentingan politis. Nazi di Jerman pada Perang Dunia II, peluncuran bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, hingga pembumihangusan ideologi “kiri” di Indonesia, merupakan beberapa contoh politisasi ilmu yang tidak hanya memperlihatkan bias epistemik pada agenda dan hasil penelitian, tetapi juga menghilangkan nyawa manusia. Segala praktik politisasi terhadap ilmu perlu dicegah, ataupun diminimalisir untuk nilai-nilai kebenaran ilmiah dan kemanusiaan yang universal.

Melalui demokratisasi ilmu, kegiatan penelitian akan mendapat perhatian — bahkan pengawasan — dari publik yang memiliki keingintahuan akan kebenaran. Terlepas dari segala kepentingan politik, praktik penelitian yang mewadahi pengetahuan manusia terhadap dunianya, harus independen dari segala kepercayaan yang dianut oleh pihak-pihak tertentu. Melalui tulisan yang tidak sempurna ini, refleksi kita sebagai bangsa yang besar perlu memperhatikan ilmu pengetahuan yang kerap kali terabaikan. Jika politisasi ilmu digencarkan oleh mereka yang ingin melanggengkan kepentingan dan kekuasaan, mari kita lawan dengan mendemokratisasi ilmu pengetahuan!

Daftar Pustaka

  1. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2016). SAINS45: Indonesian Science Agenda Towards A Century of Independence. Jakarta: Indonesian Academy of Sciences (AIPI).
  2. Bero, Lisa. (2019). Riset yang mendapatkan dana dari industri mengaburkan kebenaran. Ini penjelasan ahli. The Conversation. https://theconversation.com/riset-yang-mendapatkan-dana-dari-industri-mengaburkan-kebenaran-ini-penjelasan-ahli-124702
  3. Guston, David H. (2004). Forget Politicizing Science. Let’s Democratize Science! Issues In Science and Technology Vol. XXI, №1, Fall 2004. https://issues.org/p_guston-3/
  4. Marzuki, Sangkot, et. al. (2024). Progress and promise for science in Indonesia. PNAS. https://www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.2402202121
  5. Mudhoffir, Abdil Mughis. (2021). Politicisation of Indonesia’s state research body shatters technocrat dream — time for scholars to stop being naive and anti-politics. The Conversation. https://theconversation.com/politicisation-of-indonesias-state-research-body-shatters-technocrat-dream-time-for-scholars-to-stop-being-naive-and-anti-politics-160008
  6. Nugroho, Yanuar. (2021). Peleburan Kemenristek dan Kemendikbud munculkan banyak masalah dan tunjukkan buruknya strategi riset nasional. The Conversation. https://theconversation.com/peleburan-kemenristek-dan-kemendikbud-munculkan-banyak-masalah-dan-tunjukkan-buruknya-strategi-riset-nasional-158794
  7. Rakhmani, Inaya & Siregar, Fajri. (2016). Mereformasi Penelitian di Indonesia: Kebijakan dan Praktik. Global Development Network. https://www.ksi-indonesia.org/file_upload/GDN-Mereformasi-Penelitian-di-Indonesia-08Jun2017123027.pdf
  8. Rakhmani, Inaya, et. al. (2024). Reflecting on Indonesia’s young academy movement. PNAS. https://www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.2307213121
  9. Reiss, Dorit. (2021). Politicization of Science. American Bar Association. https://www.americanbar.org/groups/crsj/publications/human_rights_magazine_home/the-truth-about-science/politicization-of-science/
  10. Science Watchdog. (2024). Krisis Integritas Akademik: “Apa yang Perlu Kita Upayakan?” IDRW Nawala: Science Watchdog. https://sciencewatchdog.id/2024/03/18/krisis-integritas-akademik-apa-yang-perlu-kita-upayakan/
  11. Tanudirjo, Daud Aris. (2017). Reflection on the Production of Knowledge: From Postmodernism to Pseudoscience. Humaniora. https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/22559
  12. Taufiqurrahman. (2023). Pancasila Bukan Paradigma Ilmu. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/05/pancasila-bukan-paradigma-ilmu
  13. Taufiqurrahman. (2024). Keluar dari tirani matriks: solusi alternatif untuk masalah publikasi ilmiah. The Conversation. https://theconversation.com/keluar-dari-tirani-matriks-solusi-alternatif-untuk-masalah-publikasi-ilmiah-232505
  14. Wiratraman, Herlambang P. & Sakhiyya, Zulfa. (2023). Bolak-balik kontroversi BRIN: bagaimana birokratisasi dan politisasi membuat BRIN hilang arah sebagai lembaga ilmiah. The Conversation. https://theconversation.com/bolak-balik-kontroversi-brin-bagaimana-birokratisasi-dan-politisasi-membuat-brin-hilang-arah-sebagai-lembaga-ilmiah-199174
  15. Zein, Rizqy Amelia. (2024). Mengenal cara kerja ‘paper mill’: pabrik artikel ilmiah yang beroperasi seperti kartel di film-film. The Conversation. https://theconversation.com/mengenal-cara-kerja-paper-mill-pabrik-artikel-ilmiah-yang-beroperasi-seperti-kartel-di-film-film-228784

--

--

Minute of Mind UPII UGM
Minute of Mind UPII UGM

Written by Minute of Mind UPII UGM

Artikel Karya Unit Penalaran Ilmiah (UPI) “Interdisipliner” Universitas Gadjah Mada. Rebranding "Waktu Cipta UPII UGM"

No responses yet