Berebut “Nusantara”: Penamaan Ibu Kota Negara dan Problematikanya terhadap Memori Kolektif Beragam Suku Bangsa

Minute of Mind UPII UGM
7 min readJun 17, 2022

--

Author: Devina Ocsanda

Photo by Denissa Devy on Unsplash

Nusantara yang telah resmi menjadi nama Ibu Kota Negara baru Indonesia dinilai sangat cocok menggambarkan visi Indonesia 2045, yakni Indonesia yang maju, adil, dan makmur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama Nusantara telah tercantum pada landasan hukum dari Ibu Kota Negara (IKN), yaitu Undang-Undang №3 Tahun 2022, Pasal 1, Ayat (2). Namun, penggunaan istilah nusantara sebagai nama ibu kota menimbulkan pro dan kontra masyarakat Indonesia bahkan luar negeri. Kekhawatiran pihak kontra terjadi karena ditakutkan akan menimbulkan perubahan makna yang telah lama lekat dalam memori kolektif masyarakat.

Setiap hasil kebudayaan, tak terkecuali produk bahasa, akan memiliki signifikansinya sendiri dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan (gagasan, perilaku, dan material) dipandang sebagai hal yang dinamis. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan terjadi seiring dengan kontinuitas sejarah. Istilah nusantara muncul dalam sejarah kepulauan Indonesia sejak Masa Klasik (Hindu-Buddha) dan kemudian bertahan hingga abad ke-21 serta berpotensi untuk terus bertahan di masa depan. Perjalanan panjang kata nusantara memunculkan sejarah perubahannya tersendiri berikut signifikansinya dalam masyarakat.

Perjalanan Istilah Nusantara
Bukti paling awal dari kemunculan kata nusantara dapat ditelusuri dari data-data epigrafi (prasasti) dan filologi (naskah) dari Masa Klasik Hindu-Buddha. Pada tahun 1777 S (1255 M), yaitu masa Kerajaan Singasari, terbit Prasasti Mula-malurung yang diantaranya memuat kalimat (Museum Nasional, 1985/1986):

“… nakaikacchātra niŋ bhūwana sayawadwīpamaṇḍala. anuluyani nūṣāntara. an maṅkana panambaḥ saŋ rāmapati …”
arti: ” … sebagai payung dunia seluruh Pulau Jawa. dan diikuti selanjutnya Nusantara. Demikian ucapan sembah sang Ramapati …”

Lebih muda lagi, terdapat Prasasti Camundi yang menyebut kata dwīpāntara dan Prasasti Balawi yang menyebut nūṣāntara pada tahun 1292 M dan 1305 M (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1976; Museum Nasional, 1985/1986). Kemudian, pada kakawin fenomenal Nagarakretagama dan Pararaton jelas memuat kata nūṣāntara. Nagarakretagama Pupuh 12: 6 memuat kalimat yang berbunyi (Damaika, dkk: 2018):

“ … mwaṅ nūṣāntara sarwwa maṇḍalita rāṣṭra ṅaśrayākweh marêk … ”
arti: dan semua di Nusantara tunduk dan berlindung pada Majapahit.

Cerita tentang istilah nusantara yang paling familiar di telinga masyarakat adalah Cerita Sumpah Palapa Patih Gadjah Mada pada masa Majapahit. Gadjah Mada bertekad untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah naungan Majapahit. Dalam cerita, Gajah Mada bersumpah akan menaklukkan wilayah Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, hingga Tumasik (Kriswanto, 2009).

Dari uraian sebelumnya, istilah nūṣāntara yang muncul pada Masa Klasik merupakan istilah yang hanya digunakan untuk menyebut wilayah kepulauan di luar wilayah inti kerajaan. Kata nūṣāntara disebutkan terpisah dengan kata “Jawa” ataupun “Majapahit”. Artinya, kata nūṣāntara digunakan untuk menyebut wilayah di luar “Jawa” dan “Majapahit”. Nūṣāntara berarti pulau-pulau lain, begitu pula dengan istilah dwīpāntara yang berarti sama¹.

Bergerak ke masa selanjutnya, istilah nusantara memudar beserta maknanya sebagai pulau-pulau lain. Pada abad ke-20, E.F. Douwes Dekker menggunakan istilah nusantara untuk menyebut seluruh Kepulauan Hindia (Vlekke, 2018). Kemudian, Vlekke muncul dengan karya fenomenalnya berjudul Nusantara: A History of Indonesia pada tahun 1958. Karya ini terus diterbitkan hingga abad ke-21 dan telah memiliki versi terjemahan bahasa Indonesia. Konsep yang telah lama pudar kembali muncul dengan perubahan makna. Makna nusantara secara geografis meluas dari untuk menyebut pulau-pulau lain menjadi untuk menyebut Kepulauan Hindia.

Tokoh kunci yang menyebabkan “nusantara” eksis hingga masa kini adalah Ki Hajar Dewantara, M. Yamin, dan Soekarno. Karya-karya M. Yamin banyak berorientasi pada kejayaan Masa Klasik (Hindu-Buddha). M. Yamin adalah tokoh yang kuat berpendapat bahwa Gadjah Mada adalah tonggak persatuan Nusantara melalui Sumpah Palapa. Cerita populer Sumpah Palapa memasyarakat. Istilah nusantara turut melekat. M. Yamin juga memberikan konsep bahwa Majapahit, kerajaan tempat Gadjah Mada mengabdi, disebut sebagai Negara Nusantara II setelah Sriwijaya (Yamin, 2017). Kemudian, Soekarno turut menggunakan istilah ini dalam pidatonya, sehingga banyak diingat oleh masyarakat. Soekarno mengatakan bahwa negara ini memiliki negara kesatuan, yaitu Sriwijaya, Majapahit, dan Republik Indonesia yang wilayahnya hingga seluruh nusantara Indonesia (Gumilang, 2013 dalam Pradhani, 2017). Soekarno Merangkai Sriwijaya, Majapahit, Republik Indonesia dan Istilah Nusantara untuk menggambarkan luas, kekuasaan, dan kejayaan Negara Indonesia. Efek kebanggaan terhadap Indonesia dari konsep “nusantara” yang dibentuk oleh tokoh-tokoh pergerakan tersebut ternyata sangat diperlukan oleh gerakan nasionalis Indonesia pada masa penjajahan untuk mengobarkan semangat masyarakat. Konsep “nusantara” yang meliputi seluruh Indonesia inilah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat. Efeknya, ketika masyarakat ditanya apa arti “nusantara”, mereka akan menjawab Nusantara adalah seluruh kepulauan Indonesia.

Konsep-konsep dari tokoh pergerakan ini dimuat dalam buku-buku pelajaran bahkan hingga tahun 2000-an ke atas. Dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah pun tidak dijabarkan asal-muasal istilah nusantara yang dimaknai sebagai Sabang sampai Merauke dan Miangas hingga Rote. Peserta didik hanya tahu jika “nusantara” mulai ada sejak zaman kerajaan dahulu dengan tokoh kunci Gadjah Mada dan mungkin Raja Kertanegara yang mencanangkan Ekspedisi Pamalayu.

“Nusantara” di masa-masa pascakemerdekaan menjadi pokok bahasan internasional di Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia sama-sama memiliki “kenangan” dengan istilah nusantara. Yacoob Idris, tokoh pergerakan Malaysia, dalam pertemuan dengan Soekarno dan M. Hatta di Taiping, Perak, pada 13 Agustus 1945 mendeklarasikan “Negara Nusantara” yang merupakan gabungan Federasi Malaysia dan Hindia Belanda (Evers, 2016). Namun, rencana unifikasi tersebut tidak berjalan. Justru dengan konsep “nusantara” ini, ASEAN lah yang terbentuk (Evers, 2016). Artinya, “nusantara” telah menjadi konsep yang mengakar di seluruh Asia Tenggara. Tak berhenti sampai di situ, dalam linguistik modern, “nusantara” berkembang lebih ke arah kultural, yaitu digunakan untuk menyebut daerah dengan pengaruh Melayu, sehingga dimensi geopolitiknya agak sedikit disisihkan.

Namun, kini aspek geopolitik untuk memaknai istilah nusantara menguat kembali. Nusantara sah menjadi nama Ibu Kota Negara Indonesia 2024 sesuai perundangan yang berlaku. Melalui penetapan–artinya masyarakat harus mengikuti kebijakan (perundangan) yang ada–makna “nusantara” harus ikut berubah. Nusantara saat ini berubah menjadi istilah untuk nama satu ibu kota. Makna yang luas berubah menjadi lebih sempit. Memori kolektif masyarakat yang sudah terlanjur mengingat bahwa Nusantara adalah ruang geografis yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Rote terpaksa harus diralat untuk ibu kota baru. Pendidikan Indonesia yang berkiblat dari pemikiran cendekiawan masa kolonial, pergerakan, hingga pascakemerdekaan mendefinisikan nusantara sedemikian luasnya. Oleh karena melekatnya makna Nusantara versi kurikulum sekolah, meralat makna yang terlanjur jauh masuk dalam budaya masyarakat akan memerlukan cukup waktu.

Perubahan Yang Lumrah
Pada Masa Klasik, “nusantara” memiliki signifikansi dalam perluasan pengaruh kekuasaan di luar wilayah inti oleh penguasa saat itu. Kemudian, “nusantara” seolah hilang signifikansinya dari masyarakat sampai tokoh-tokoh pergerakan mengemas “nusantara” menjadi kesatuan raksasa sebagai alat untuk menarik masyarakat dari zona keterjajahan. Pemikiran tersebut terus bertahan dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah.

Perubahan seperti istilah nusantara ini merupakan fenomena linguistik yang jamak terjadi. Makna menjadi unsur bahasa paling arbitrer jika dibandingkan dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis karena daya tahan makna inilah yang paling lemah (Ansori 2021). Hal ini sebenarnya disebabkan oleh beragam faktor. Salah satu faktor yang baik untuk menjelaskan perubahan makna “nusantara” ini adalah kebutuhan kata baru dalam masyarakat penutur bahasa (Taufiqurrochman dalam Ansori, 2021).

Ibu Kota Negara (IKN) tentunya belum memiliki nama sebagai sebuah entitas geografis administratif yang baru. Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk memberi nama entitas tersebut. Walaupun dengan cara “memaksa”, dalam artian terpaksa oleh hukum, nama Nusantara berhasil ditetapkan. Perubahan budaya karena suatu paksaan juga adalah hal yang jamak terjadi. Banyak kasus perubahan budaya karena paksaan pada masa kolonial. Misalkan saja gaya berpakaian gundik dan pembantu bumiputera di Batavia yang dikontrol oleh majikannya. Hal tersebut terjadi karena bangsa Belanda di Batavia menganggap budaya tersebut merupakan budaya mestizo yang campur-campur, tidak jelas, dan membuat heran (Taylor, 2009). Dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan suatu hal yang dinamis dan perubahannya tidak dapat dielakkan.

Apa yang diperebutkan?
Beberapa media mengabarkan bahwa terdapat beberapa pihak di Indonesia yang menentang digunakannya “Nusantara” sebagai nama ibukota karena ketakutan perubahan makna. Ketidaksetujuan juga datang dari masyarakat Malaysia yang mengatakan bahwa Nusantara juga merupakan bagian dari kehidupan sejarah mereka. “Nusantara” oleh orang Indonesia dimaknai sebagai nama alternatif negara. “Nusantara” oleh orang Malaysia dimaknai lebih luas lagi sebagai kesatuan pulau-pulau di tenggara Asia. Dengan digunakannya “Nusantara” sebagai nama ibu kota pengertiannya yang luas ditakutkan akan menjadi kecil dan milik Indonesia saja.

Pertentangan-pertentangan akan selalu menghiasi setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kasus nama Nusantara khususnya menitikberatkan pada memori kolektif yang terlanjur melekat akan berubah jika nama Nusantara benar akan menjadi nama ibu kota. Dengan melihat bahwa perubahan kebudayaan adalah suatu yang lumrah, perubahan ini sebenarnya adalah hal yang tidak perlu dikhawatirkan bagi masyarakat luas.

Akan tetapi kebudayaan juga memerlukan konsensus masyarakat. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah stakeholder, bahwa tidak semua masyarakat memiliki kesepahaman dengan mereka. Kemudian juga bahwa tidak semua masyarakat mengerti bahwa budaya adalah suatu hal yang gampang berubah. Permasalahan penamaan ibu kota ini dapat menjadi refleksi bahwa dalam penetapan nama harus terdapat perencanaan matang, dalam hal ini menggali sejarah dan memperhitungkan dampak kultural.

______

¹ Alih bahasa dibantu http://sealang.net/ojed/ yang merupakan proyek Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV)

Referensi

  • Ansori, M. S. (2021). Perubahan Makna Bahasa: Semantik-Leksikologi. Semiotika, 22(2), 151–162. https://jurnal.unej.ac.id/index.php/SEMIOTIKA/index.
  • Evers, H.-D. (2016). Nusantara: History of a Concept. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 89(1), 3–4. https://www.jstor.org/stable/26527734.
  • Kriswanto, A. (2009). Pararaton: Alih Aksara dan Terjemahan. Wedatama Widya Sastra.
  • Museum Nasional. (1985/1987). Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I. Museum Nasional.
  • Pradhani, S. I. (2017). Sejarah Hukum Maritim Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam Hukum Indonesia Kini. Lembaran Sejarah, 13(2), 186–203. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.33542.
  • Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. (1976). Berita Penelitian Arkeologi №47. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
  • Saktiani, D., Widya, K., Aminullah, Z. P., Marginingrum, N., & Septi, N. (2018). Kakawin Nagarakertagama (2nd ed.). Narasi.
  • Taylor, J. G. (2009). The Social World of Batavia. The University of Wisconsin Press.
  • Vlekke, B. H. . (2018). Nusantara: Sejarah Indonesia (6th ed.). KPG.
  • Yamin, M. (2017). 6000 Tahun Sang Merah Putih (2nd ed.). Balai Pustaka.

--

--

Minute of Mind UPII UGM

Artikel Karya Unit Penalaran Ilmiah (UPI) “Interdisipliner” Universitas Gadjah Mada. Rebranding "Waktu Cipta UPII UGM"