Antara Ekonomi dan Lingkungan: Apakah Bisa Berjalan Beriringan?

Minute of Mind UPII UGM
6 min readApr 22, 2022

--

Author: Hilman Nurjaman

https://www.dreamstime.com/stock-image-economy-vs-environment-image3701641#res26615551

Selama bertahun-tahun, aktivitas ekonomi Indonesia dengan basis utama sumber daya alam masih dihadapkan pada pilihan yang sama dan dilematis. Bagaimana tidak, pilihan yang ditawarkan sering kali terbatas pada eksploitasi sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya atau menekan penggunaan sumber daya alam dengan konsekuensi keuntungan ekonomi yang didapat terhitung minim. Dalam hal ini, ekonomi dan lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dan tidak dapat berjalan beriringan (Raworth, 2017). Di samping itu, terdapat konsep ekonomi baru yang merespons pilihan dikotomis tersebut, yaitu konsep ekonomi sirkular. Pola ekonomi sirkular ini dalam praktiknya mengarah pada penggunaan kembali suatu barang yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan (Liu & Ramakrishna, 2021). Dengan demikian, tulisan ini berusaha membingkai kemungkinan-kemungkinan pola yang terbentuk dalam merespons aspek ekonomi dan lingkungan yang dikotomis dalam praktiknya.

Bagaimana dengan Pola Ekonomi di Indonesia?
Pola ekonomi sirkular dipahami sebagai pola ekonomi yang berusaha menghindari atau meminimalisasi terbentuknya sampah dan mendorong perpanjangan nilai guna barang melalui daur ulang (Andrews, 2015; Djalante et al., 2020). Di negara berkembang, termasuk Indonesia, kesiapan atas pengelolaan sampah masih terbilang minim (Kanojia & Visvanathan, 2021). Dalam konteks Indonesia, sampah menjadi salah satu di antara sekian hasil aktivitas ekonomi linear yang mana ikut diperparah oleh adanya globalisasi dan liberalisasi pasar global. Di sisi lain, peningkatan atas populasi masyarakat tiap wilayah, ketidaksetaraan tingkat pendapatan rumah tangga, dan perubahan kondisi sosial budaya masyarakat yang merupakan permasalahan turunan dari aktivitas ekonomi yang mengorbankan aspek sumber daya alam membuat emisi negara makin tinggi (Liu & Ramakrishna, 2021).

Tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan dari pola ekonomi di Indonesia ini telah berkontribusi pada penurunan fungsi alam yang berujung pada krisis. Berdasarkan data dari CNN Indonesia (2019), Indonesia telah mengalami kemarau yang panjang dan bencana kebakaran hutan yang diakibatkan dari eksploitasi hutan dalam aktivitas pembukaan kawasan industri. Di tahun berikutnya, berdasarkan data BMKG, banjir menjadi bencana langganan bagi kota-kota besar di Indonesia yang terjadi hampir setiap tahun (Permana, 2020). Oleh karena itu, dapat dipahami, bahwa model ekonomi yang dipilih dan dipraktikkan telah merusak batas-batas lingkungan. Bagaimana tidak, bencana yang menjadi konsekuensi pola ekonomi linear tersebut tidak mendapatkan perhatian yang serius oleh para pemangku kebijakan negara. Sebagaimana pemarapan Presiden RI dalam pertemuan virtual “Leaders Summit on Climate 2021” yang bertema Hari Bumi, dalam pidatonya, Presiden hanya menyampaikan pencapaian ekonomi nasional tanpa diikuti pembahasan atas krisis yang tengah terjadi di Indonesia dan pembangunan berkelanjutan yang menjadi strategi intervensi terhadap ekonomi dan lingkungan yang menjadi target global (Sastriastanti, 2021).

Tanpa adanya kehadiran negara dalam intervensi ekonomi yang berbasis lingkungan, peluang terwujudnya tujuan dari ekonomi sirkular sendiri sangatlah kecil. Kebijakan yang masih berpedoman pada pola ekonomi linear tentu akan memberikan kerentanan atas tantangan sumber daya alam yang terbatas dan menimbulkan masalah bagi keseimbangan lingkungan. Meskipun dalam praktiknya terdapat beberapa industri dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang tengah memulai dan menjadikan pola ekonomi sirkular sebagai gaya hidup atau prosedur aktivitas ekonomi yang baru, tapi hal itu belum cukup untuk dapat dikatakan berhasil. Keterbatasan ruang dalam mendistribusikan konsep ekonomi sirkular menjadi sebuah tantangan moral. Pada akhirnya, kerugian yang ditimbulkan dari model ekonomi linear ini menjadi kerugian multi dimensional. Kerugian-kerugian yang meliputi bencana alam, kesehatan, atau bahkan kerugian pada emosional dan sosial. Kerugian ini berdampak langsung terutama pada kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi (Mariyanti & Mahfudz, 2016). Dengan demikian, sudah seharusnya untuk melepas sentralisasi perekonomian nasional yang menimbulkan ketimpangan pembangunan sosial, sehingga penting untuk memahami ulang pola ekonomi yang dapat membangunan ruang kehidupan yang aman.

Memahami Pola Ekonomi Sirkular dengan Model Ekonomi Donat
Pembaruan pola ekonomi terakhir ini tidak hanya menawarkan kemakmuran ekonomi sebagai satu-satunya kepentingan yang diperhatikan, tetapi juga aspek lingkungan hidup. Dalam hal ini, Kate Raworth (2017) berusaha menyajikan strategi untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalisasi kerugian dari ekonomi linear dengan mengembangkan pendekatan model ekonomi donat dalam praktik ekonomi sirkular. Model ekonomi ini menghimpun dua belas aspek sosial dan sembilan aspek lingkungan dengan memberikan ruang ideal ekonomi yang berada di antara kedua aspek tersebut. Kerangka yang terlampir di bawah dapat menjelaskan pendekatan model ekonomi tersebut dengan pola yang menyerupai donat. Dimana lingkaran bagian dalam dimaknai sebagai pondasi sosial dan lingkaran luar berarti fasilitas atap ekologis bumi yang menjadi kebutuhan atas keberlangsungan aktivitas ekonomi itu sendiri.

Sumber: Doughnut Economics 2017

Dari model donat tersebut, dapat dipahami bahwa lingkaran dalam yang menjadi pondasi sosial ini mencakup kebutuhan pendapatan masyarakat yang merata, hak dan perlindungan politik yang diakui secara jelas, kesetaraan dalam aspek gender dan identitas sosial, kemudahan akses terhadap pendidikan, tempat tinggal, dan fasilitas kesehatan yang layak. Kemudian, pada bagian atas yang menjadi batasan ekologis menghimpun tantangan perubahan iklim, polusi udara, konversi lahan, dan sebagainya. Kedua aspek tersebut dapat dikatakan sebagai elemen pondasi dan atap yang penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila aktivitas ekonomi tetap berada di antara dua batasan tersebut, kemakmuran ekonomi yang berdampingan dengan pemenuhan kebutuhan sosial dan ketahanan lingkungan akan dimiliki segala penuh oleh masyarakat. Namun, jika kedua aspek tersebut tidak dipenuhi, maka akan menimbulkan risiko yang tentu merugikan, termasuk pada pemenuhan kebutuhan aktivitas ekonomi itu sendiri. Dengan kata lain, ekonomi hanya dapat bertumbuh ketika memiliki pondasi sosial dan atap ekologis yang kuat sebagai syarat utama.

Model ekonomi donat dalam praktik ekonomi sirkular ini sejatinya dapat ditegaskan kembali penerapannya dalam ruang makro ekonomi. Dalam konteks Indonesia, model ekonomi ini dapat memberikan dorongan untuk memperbarui cara berpikir pola ekonomi linear yang mengganggu keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berulang-ulang. Meskipun penerapan pola ekonomi dengan pendekatan model donat ini tidak mudah dan cenderung akan menjadi sebuah perjalanan panjang, tapi upaya untuk memulai dan diskusi yang terus-menerus didistribusikan akan memperjelas tujuan ekonomi yang berkelanjutan dan kepentingan atas kehidupan sosial dan kelestarian lingkungan dalam praktiknya. Dengan demikian, menyebarnya kesadaran kolektif tentang urgensi aspek sosial dan lingkungan dalam aktivitas ekonomi dapat menjadi cara yang sistematik dalam mendorong para pembuat kebijakan yang lebih berpihak pada pembangunan berkelanjutan secara kontekstual di Indonesia.

Referensi

--

--

Minute of Mind UPII UGM

Artikel Karya Unit Penalaran Ilmiah (UPI) “Interdisipliner” Universitas Gadjah Mada. Rebranding "Waktu Cipta UPII UGM"