Analisis Kontribusi Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Kerentanan Pekerja Kontrak di Indonesia

Minute of Mind UPII UGM
5 min readAug 20, 2023

--

Author: Abid Shidqi Amali

Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Oktober 2020 menimbulkan kontroversi dan aksi protes di berbagai daerah. Undang-Undang tersebut mengatur berbagai aspek, diantaranya ketenagakerjaan, investasi, kawasan ekonomi, dan lingkungan hidup (Maharani, 2020) (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2020). Dalam proses penyusunan hingga pengesahannya, kontroversi yang muncul diantaranya terkait proses pengesahan yang dinilai terburu-buru, banyaknya versi Undang-Undang yang beredar, Hilang dan bertambahnya sejumlah pasal secara inkonsisten, hingga kesalahan teknis lain seperti kesalahan ketik (Amanaturrosyidah, 2020) (Amali, 2020).

Pada klaster ketenagakerjaan, Undang-Undang tersebut mengatur tentang penggunaan tenaga kerja asing, pekerja kontrak, waktu kerja, waktu istirahat, pemutusan hubungan kerja, dan pengupahan (Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, 2020). Dalam hal pengaturan pekerja kontrak, Undang-Undang tersebut dalam Pasal 81 angka 15 mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan tersebut berisiko menjadikan pekerja berstatus pekerja kontrak dalam waktu yang tidak terbatas.

Tulisan ini akan membahas bagaimana pemerintah melalui UU Cipta Kerja berkontribusi terhadap kerentanan pekerja, khususnya pekerja kontrak. Analisis kasus akan dikaitkan dengan sistem produksi kontemporer dan konsep segitiga kekuasaan dalam dunia kerja. Konsep segitiga kekuasaan tidak melibatkan pemerintah dalam membahas persoalan, sedangkan pada sistem produksi kontemporer pemerintah merupakan pihak yang juga berkepentingan dalam sistem produksi. Dari kedua hal tersebut, tulisan ini akan menghubungkan dan berusaha mengisi ruang kosong diantara kedua konsep tersebut.

Kajian Literatur

Layna Mosley dalam bukunya berjudul “Labor rights and multinational production” menjelaskan tiga ciri khas sistem produksi kontemporer. Ketiga ciri tersebut yakni adanya investasi asing secara langsung, perdagangan internasional, dan sistem kerja subkontrak (Mosley, 2010). Tujuan dari adanya tiga hal tersebut tidak lain adalah untuk mencapai tingkat efisiensi maksimal yang kemudian akan memperbesar profit.

Sistem produksi global tidak hanya melibatkan perusahaan sebagai pemilik modal dengan konsumennya. Dalam seluruh aspek sistem produksi global, pemerintah yang berisikan elit penguasa setempat sebagai pemilik otoritas dalam sebuah negara punya andil dalam menentukan berjalannya sistem tersebut. Hal itu dapat berupa kepentingan pemerintah untuk meningkatkan pemasukan negara melalui pajak, pembangunan ekonomi melalui modal asing, dan penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan multinasional. Dari kepentingan-kepentingan tersebut, pemerintah dapat mengambil suatu kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingannya.

Steven Henry Lopez dalam tulisannya “Workers, Managers, and Customers: Triangles of Power in Work Communities” menjelaskan bagaimana keterkaitan pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah sistem kerja. Ia melanjutkan pemikiran McCommon dan Griffin pada dekade 90-an mengenai pihak yang terlibat dalam segitiga kekuasaan, yakni manajer, pekerja, dan pelanggan (Lopez, 2010). Meskipun konsep tersebut pada awalnya digunakan untuk melihat keterkaitan pihak-pihak dalam sektor jasa, konsep tersebut tetap relevan digunakan mengingat sektor pekerjaan tidak lagi dapat dipisahkan menjadi sektor jasa dan manufaktur saja. Perkembangan teknologi dan adanya sistem produksi global seperti yang sudah disebutkan membuat hubungan kerja menjadi semakin kompleks. Oleh karenanya diperlukan penyesuaian untuk memastikan konsep tersebut agar sesuai dengan situasi terkini.

Temuan

Penghapusan beberapa poin dalam UU Pasal 59 Nomor 13 Tahun 2003 selain berisiko menjadikan pekerja berstatus pekerja kontrak ‘abadi’, juga berisiko menghilangkan hak-hak pekerja. Ketentuan dalam Pasal 59 tersebut mengatur soal pesangon dan hak-hak buruh lainnya (Dzulfaroh, 2020). Situasi seperti ini secara tidak langsung melepaskan tanggung jawab pemerintah dan menyerahkan sepenuhnya kesepakatan kepada perjanjian antara pemberi kerja dan pekerja. Hal tersebut tentu saja rentan menimbulkan diskriminasi bagi pekerja akibat relasi kuasa yang timpang dengan pemberi kerja.

Temuan lain yang menarik dalam hal pekerja kontrak adalah terdapat perbedaan usaha yang dilakukan pekerja sementara dengan pekerja tetap (Engellandt & Riphahn, 2005). Pekerja sementara menghasilkan usaha yang lebih tinggi dibanding pekerja tetap. Berbagai kelebihan yang didapatkan pekerja tetap membuat pekerja sementara melakukan usaha ekstra untuk meningkatkan kemungkinan diangkat menjadi pekerja tetap. Meskipun pekerja sementara menghasilkan usaha ekstra, upah yang mereka dapatkan lebih rendah. Hal tersebut lebih disebabkan besarnya potongan upah yang dialami pekerja sementara daripada perbedaan produktivitas kerja (Bhandari & Heshmati, 2006).

Dari sisi keamanan kerja, terdapat hasil yang menarik dimana pekerja tetap justru mengharapkan level keamanan kerja yang lebih tinggi (Cuyper & Witte, 2007). Selain itu, pekerja tetap lebih khawatir perihal keamanan kerja dan menganggap keamanan kerja adalah sesuatu yang penting dibandingkan pekerja temporer (Bhandari & Heshmati, 2006).

Diskusi

Dari kajian literatur dan temuan-temuan di atas dapat dipahami bahwa terdapat potensi diskriminasi terhadap pekerja yang timbul dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja. Keinginan untuk menarik minat investasi asing dan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nampaknya tidak sebanding dengan risiko yang harus dialami pekerja. Kesejahteraan pekerja dikorbankan demi kepentingan elit penguasa yang diakomodir dengan adanya kewenangan menetapkan Undang-Undang. Terlebih lagi, waktu pengesahan yang masih berada pada situasi pandemi membuat pemerintah sangat terlihat memaksakan keinginannya terlepas apapun kondisinya. Dalam kasus ini, pekerja menjadi kelompok yang rentan dan terpinggirkan kepentingannya dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja.

Dalam sistem produksi global, pemerintah bertindak sama seperti pemilik modal, atau dalam hal ini perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki kepentingannya masing-masing. Dengan demikian, perspektif segitiga kekuasaan memerlukan penyesuaian agar sesuai dengan kondisi sekarang. Pemerintah dapat diposisikan berada di tengah-tengah ketiga pihak. Dengan demikian, dapat dikatakan pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai wasit yang mengatur jalannya sistem agar seimbang. Namun, peran pemerintah sebagai wasit antara ketiga pihak nampaknya tidak akan mudah. Mengingat pemerintah sendiri memiliki kepentingan yang ingin dicapai seperti yang sudah disebutkan.

Penutup

Dari pemaparan dan diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja berkontribusi terhadap kerentanan pekerja, khususnya pekerja kontrak. Kontribusi tersebut berupa penghapusan ketentuan yang mengatur hak-hak pekerja di dalam Undang-Undang sebelumnya. Selain itu, pemerintah dalam hal ini melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan ketentuan kerja kepada perjanjian antara pemberi kerja dan pekerja. Sikap pemerintah yang demikian dapat dipahami dengan menggunakan perspektif sistem produksi global dan hubungan segitiga kuasa. Dalam hal ini pemerintah gagal menjalankan perannya sebagai penengah dan justru berperan sebagai pihak yang turut berkompetisi memperjuangkan kepentingannya.

Daftar Pustaka

Amali, Z., 2020. Kronologi Omnibus Law Disahkan hingga Jokowi Terima UU Cipta Kerja. [Online]
Available at: https://tirto.id/kronologi-omnibus-law-disahkan-hingga-jokowi-terima-uu-cipta-kerja-f5YM
[Accessed 5 Desember 2022].

Amanaturrosyidah, O., 2020. Kronologi UU Omnibus Law Cipta Kerja Disahkan Jokowi hingga Ditemukan Typo. [Online]
Available at: https://kumparan.com/kumparannews/kronologi-uu-omnibus-law-cipta-kerja-disahkan-jokowi-hingga-ditemukan-typo-1uWRd7mJ3hs/full
[Accessed 5 Desember 2022].

Bhandari, A. K. & Heshmati, A., 2006. Wage inequality and job insecurity among permanent and contract workers in India: Evidence from organized manufacturing industries. SSRN Electronic Journal.

Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, 2020. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA. [Online]
Available at: https://jdih.kemnaker.go.id/asset/data_puu/2020uuciptaker11.pdf
[Accessed 4 Desember 2022].

Cuyper, N. D. & Witte, H. D., 2007. Job insecurity in temporary versus permanent workers: Associations with attitudes, well-being, and behaviour. Work & Stress, 21(1), pp. 65–84.

Dzulfaroh, A. N., 2020. UU Cipta Kerja dan Potensi Pekerja Kontrak Abadi. [Online]
Available at: https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/07/080200065/uu-cipta-kerja-dan-potensi-pekerja-kontrak-abadi?page=all
[Accessed 4 Desember 2022].

Engellandt, A. & Riphahn, R. T., 2005. Temporary contracts and employee effort. Labour economics, 12(3), pp. 281–299.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2020. OMNIBUS LAW CIPTA LAPANGAN KERJA. [Online]
Available at: https://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/10/Booklet-UU-Cipta-Kerja.pdf
[Accessed 5 Desember 2022].

Lopez, S. H., 2010. Workers, Managers, and Customers: Triangles of Power in Work Communities. Work and Occupations, 37(3), pp. 251–271.

Maharani, T., 2020. UU Cipta Kerja Berlaku, Ini Pasal-pasal Kontroversial di Klaster Ketenagakerjaan. [Online]
Available at: https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/10285541/uu-cipta-kerja-berlaku-ini-pasal-pasal-kontroversial-di-klaster
[Accessed 5 Desember 2022].

Mosley, L., 2010. Labor Rights and Multinational Production. s.l.:Cambridge University Press.

--

--

Minute of Mind UPII UGM

Artikel Karya Unit Penalaran Ilmiah (UPI) “Interdisipliner” Universitas Gadjah Mada. Rebranding "Waktu Cipta UPII UGM"